Oleh: Abu Qurba
Tidak
ada seorang pun dari marja (mujtahid) yang masih hidup yang telah
mengeluarkan fatwa bahwa hukumnya halal mengkonsumsi segala jenis ikan
yang tidak bersisik. Akan tetapi mereka berfatwa bahwa: Hukumnya haram
mengkonsumsi segala jenis ikan yang tidak bersisik
Hukum Ikan yang Tidak Bersisik dan
14 Macam yang Diharamkan pada Hewan Halal
Tanya: Sebagaimana kebanyakan ikhwan
yang kini telah tercerahkan hati dan imannya dengan mengakui dan
mengikuti kebenaran ajaran Ahlulbait as itu sebelumnya bermazhab
Ahlisunnah, maka sayapun demikian pula. Yakni saya sebelum ini bermazhab
Sunni. Dan sebagaimana mereka ketika masih mengikuti dan mengamalkan
ajaran Ahlisunnah –dalam hal makanan- suka mengkonsumsi berbagai ikan
yang tidak bersisik, seperti ikan lele, cumi-cumi dan sebagainya, maka
sayapun demikian pula. Yakni saya suka sekali makan ikan lele goreng,
pecel lele, apalagi cumi-cumi. Wah… jangan tanya deh. Terus terang saja
saya memang pada awalnya merasa keberatan ketika mendengar bahwa di
dalam ajaran Ahlulbait as, semua jenis ikan yang tidak bersisik itu
hukumnya haram dimakan. Tetapi setelah saya mengetahui hikmahnya, maka
dengan ringan saya dapat menghindarinya. Karena disamping membahayakan
fisik, juga akan membahayakan ruh. Singkat kata, yang ingin saya
tanyakan adalah:
1. Apakah semua ulama syiah
sepakat akan keharaman mengkonsumsi ikan-ikan yang tidak bersisik?
Ataukah ada marja syiah yang juga menghalalkannya?
2. Bagaimana hukumnya memakan ikan goreng yang
bersisik, tetapi ikan yang bersisik itu digoreng bersamaan dengan
ikan-ikan yang tidak bersisik? Atau memakan gorengan lainnya, seperti
tempe, kerupuk, dll yang digoreng dengan menggunakan minyak bekas
menggoreng ikan lele? Terus, jika misalnya ikan yang tidak bersisik
itu disayur, bolehkah kita memakan sayur dan kuahnya saja, tanpa makan
ikannya?
3. Pertanyaan kami yang lainnya dan yang
terakhir adalah hal-hal apa sajakah yang diharamkan dari hewan-hewan
yang halal sesuai dengan fatwa dan pandangan para marja taklid Syiah
Imamiyah?
Atas jawabannya kami ucapkan banyak terimakasih. Semoga kita semua
senantiasa berada di bawah bimbingan para marja dan Imam Zaman Ajf.
Amin…
Bismihi Taala
Jawab:
Kami ucapkan tabrik dan selamat atas taufiq yang telah Allah Swt
anugerahkan kepada Antum dan rekan-rekan dalam memilih ajaran yang benar
dengan argumen yang kuat dan mengakar. Tidak ada sesuatu pun yang
berharga bagi orang yang berakal sehat (ulul albab) baik untuk dunia
apalagi untuk akhiratnya, selain mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran
yang benar, logis, sejalan dengan fitrah dan athifiyah insani serta
sarat dengan argumen-argumen yang kokoh dan mengakar.
1. Baiklah, saya akan berusaha menjawab
beberapa pertanyaan yang Antum ajukan di atas. Dari beberapa kitab
fiqih Ahlulbait As (risalah amaliyah) yang sempat saya baca dan beberapa
ulama yang saya rujuk, dapat saya simpulkan bahwa tidak ada seorang
pun dari marja (mujtahid) yang masih hidup yang telah mengeluarkan
fatwa bahwa hukumnya halal mengkonsumsi segala jenis ikan yang tidak
bersisik. Akan tetapi mereka berfatwa bahwa: Hukumnya haram mengkonsumsi
segala jenis ikan yang tidak bersisik.
Dengan kata lain bahwa
seluruh fatwa mereka, sehubungan dengan hukum ikan yang tanpa sisik itu,
bersifat fatwa yang mengikat. Semuanya mengatakan haram. Memang dahulu
ada ulama syiah yang membolehkan makan ikan yang tidak bersisik dan
menghalalkannya, tetapi itu pendapat yang syadz (langka) dan dianggap
lemah. Lebih dari itu, pendapat ulama atau marja tersebut tidak bisa
lagi diikuti atau ditaklidi, karena sudah meninggal. Sementara di dalam
ajaran Syiah Ahlulbait As diharuskan bertaklid kepada marja atau
mujtahid yang masih hidup.
Berbeda dengan pandangan Sunni yang
membolehkan bertaklid kepada marja atau mujtahid yang sudah meninggal
dunia sekalipun wafatnya ratusan tahun yang lalu. Bahkan mereka telah
menutup pintu ijtihad. Karena itu, para mujtahid Sunni itu (yang dikenal
hingga kini) hanyalah empat orang saja: Imam Hanafi, Maliki, Syafii dan
Hambali.
2. Hukumnya boleh dan halal memakan ikan yang
bersisik yang digoreng bersamaan dengan ikan-ikan yang tidak bersisik,
artinya minyaknya satu dan penggorengannya juga satu. Begitu pula
dihalalkan memakan gorengan lainnya, seperti tempe, tahu, kerupuk,
bakwan, dll yang digoreng dengan minyak bekas menggoreng ikan yang tidak
bersisik. Sebagaimana pula dihalalkan dan dibolehkan memakan
sayur-sayuran dan makanan lainnya yang halal yang disayur bersamaan
dengan ikan-ikan yang tidak bersisik. Karena ikan yang tidak bersisik
itu, sekalipun hukum memakannya haram, tetapi ia tidak najis.
Sehubungan dengan kehalalan memakan ikan yang bersisik, saya tambahkan,
bahwa ikan yang bersisik itu hukumnya halal dimakan ketika ia matinya di
luar air atau setelah berada di daratan.
Dengan demikian bahwa
ikan-ikan yang bersisik pun menjadi haram dimakan ketika telah mati di
dalam air (sebelum ditangkap). Misalnya ketika ikan-ikan itu diracun
atau menangkapnya dengan menggunakan alat peledak, sehingga ikan-ikan
itu telah mati di air.
Perlu Antum ketahui bahwa menurut ajaran Syiah Ahlulbait As, semua
binatang yang hidup di dalam air itu hukumnya tidak boleh atau haram
dimakan, kecuali jenis ikan dan udang. Dan tentunya ikan pun, harus ikan
yang bersisik, sekalipun sisiknya sedikit sekali dan sekalipun sisiknya
sudah rontok ketika ditangkap.
Dengan demikian bahwa binatang
lainnya seperti kepiting, kerang, rajungan, laya, kijing, ciput, keong,
belut atau lindung dan semisalnya, hukumnya haram dimakan. Adapun udang
hukumnya halal dimakan.
Lopster apa Hukumnya?
Sebagian marja taklid berfatwa bahwa haram hukumnya
mengkonsumsi lopster. Adapaun fatwa Rahbar: Jika Lopster itu digolongkan
atau termasuk jenis udang, maka hukumnya halal dimakan. Tetapi jika
Lopster itu dikategorikan termasuk kepiting (harcang – Farsinya), maka
hukumnya haram dimakan.
Untuk mengetahui dan menentukan bahwa Lopster itu termasuk jenis udang
ataukah kepiting, bagaimana caranya? Caranya adalah Antum tanyakan
kepada ilmu dan pengalaman Antum sendiri. Jika Antum tidak tahu juga,
maka tanyakanlah ahli khibrah (ahli di bidang perikanan, seperti nelayan
dan tukang ikan atau petani ikan). Kalau masih juga ragu bagaimana? Ya
kalau sudah bertanya masih juga ragu, atau jawaban dari mereka terdapat
ikhtilaf, maka sebaiknya ditinggalkan saja, artinya Antum tidak usah
lah beli Lopster, beli saja udang biasa. Lagi pula, Lopster kan mahal
harganya.
Demikain juga ketika Antum ragu dalam menentukan satu jenis
ikan, apakah ikan itu bersisik ataukah tidak ataukah sisiknya sudah
rontog. Dalam hal ini Antum merujuk kepada ahli khibrah tadi.
Makan ikan mentah boleh ngga ustadz? Secara fikih (bukan akhlak),
jangankan makan ikan mentah, makan daging mentah saja boleh. Jadi
memakan ikan mentah dan juga daging mentah hukumnya halal dan boleh,
asalkan kotoran, darah dan najisnya sudah dibersihkan terlebih dahulu,
biar ada sedikit perbedaannya antara manusia dengan kucing.
Tentunya
secara akhlak tidak baik, dan bahkan akan mempengaruhi pembentukan
watak dan sifat seseorang. Bisa jadi nanti wataknya seperti kucing jika
sering-sering makan ikan dan daging mentah. Apa sih watak dan sifat
kucing itu?
3. Mengenai pertanyaan antum yang terakhir,
yaitu hal-hal yang diharamkan pada hewan yang halal, Imam Khomeini Ra di
dalam kitab fiqihnya Tahrir al- Wasilah jilid 2 halaman: 142 pada
masalah ke 27 dan di dalam kitab-kitab fiqih serta risalah amaliyah
marja taklid lainnya menyebutkan dan menjelaskan bahwa terdapat 14 macam
yang diharamkan dari hewan yang dihalalkan. 14 macam itu ialah:
1. Al-Dam (blood, darah).
2. Al-Rauts (faeces, kotorannya).
3. Al-Thihal (spleen, limpa).
4. Al-Qadhib (penis, alat kelamin hewan jantan).
5. Al-Farj (vagina, alat kelamin hewan betina bagian luar dan dalamnya).
6. Al-Untsayain (testis, dua buah biji pelir).
7. Al-Matsanah (bladder, kandung kemih).
8. Al-Mararah (gall bladder, empedu).
9. Al-Nukha (spinal cord, sumsum tulang belakang).
10. Al-Gudad (lymph nodes, gumpalan bulat kecil yang terdapat di badannya).11. Al-Masyimah (uterus, tempat kandungan janin, begitu juga ari-arinya-secara ihthiyat wajib).
12. Al-Albawan (nuchal ligaments, dua buah urat warna kuning yang memanjang dari leher hingga ekornya yang terletak di atas tulang punggungnya).
13. Khurzatu al-Dimagh (hypophysis, biji otak, yaitu sebesar sebutir kacang tanah yang terdapat di tengah-tengah otak dan warnanya condong kecoklat-coklatan, berbeda dengan warna otak bagian tengkoraknya).
14. Al-Hadaqah (lens & pupil, bagian biji matanya yang digunakan untuk melihat, jadi tidak seluruh bagian matanya). Dan di sebagian kitab fiqih terdapat satu tambahan, yaitu: Dzatu al-asyaji (inter digital pouch, semacam tonjolan kecil yang terletak di antara dua jari kakinya (kaki kambing, sapi, dll) ketika kedua jarinya itu dibuka atau dibelah).
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Hukum Ikan yang Tidak Bersisik
(Lele, Belut, Cumi-cumi, Dll)
Penanya 1:
Dalam mazhab Sunni jelas, bahwa mengkonsumsi atau memakan ikan apapun,
sekalipun ikan-ikan yang tidak bersisik (seperti belut, lele, cumi-cumi,
dll) boleh hukumnya. Bahkan mazhab Maliki (gurunya Imam Syafii)
membolehkan makan katak, dan makruh makan daging anjing. Tetapi Imam
Syafii mengharamkan makan daging anjing. Nah kalau dalam mazhab AB
(Syiah Imammiyah) gimana ustazd?
Jawab: Seluruh ulama Syiah Imammiyah
berdasarkan riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka dari para Imam
Maksum As, mengharamkan ikan-ikan yang tidak bersisik, termasuk juga
kepiting, kerang, katak, keong, siput, dll.
Penanya 2: Saya pernah mendengar bahwa seorang ulama Syiah Imamiyah yang bernama Ayatullah Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah (dari Libanon) menghalalkan ikan-ikan yang tidak bersisik ustadz, apa saya salah dengar ?
Jawab: Tidak, Antum tidak salah dengar dan yang
menyampaikan info ini ke Antum pun tidak salah dalam menyampaikannya.
Benar bahwa beliau (Ayatullah Sayyid Husein Fadhlullah Ra) berfatwa
demikian (bahwa ikan-ikan yang tidak bersisik itu boleh dimakan). Dalam
hal ini beliau merubah fatwanya yang semula sama dengan fatwa masyhur
ulama. Setahu ana, hanya beliaulah yang merubah atau mempunyai fatwa
demikian.
Penanya 3: Jika demikian, berarti orang-orang yang bertaklid kepada beliau boleh dong mengkonsumsi ikan-ikan yang tidak bersisik ustadz?
Jawab: Ya benar, tapi tentunya tidak semua yang bertaklid kepada beliau itu dibolehkan mengamalkan fatwa beliau ini !
Penanya 4: Lho kok bisa begitu ustadz !? Bisa Antum jelaskan !
Jawab: Bisa, bisa insya Allah. Jelasnya dan
singkatnya begini: Orang-orang yang bertaklid kepada beliau dan
taklidnya itu sah, artinya taklidnya sesuai dengan aturan fikih atau
syariat, sebagaimana dijelaskan di dalam risalah-risalah amaliah para
marja, maka pada masa hayat beliau, dibolehkan mengamalkan fatwa-fatwa
beliau, termasuk mengkonsumsi ikan-ikan yang tidak bersisik itu. Tetapi
bagi sebagian orang yang mungkin taklidnya berdasarkan taklid buta dan
tidak berdasarkan hukum-hukum fikih yang berlaku, maka menjadi isykal
ketika mengamalkan fatwa-fatwa beliau semasa hayat beliau, apalagi
setelah beliau wafat.
Penanya 5: O….h begitu ustadz !? Taklid yang sah dan yang memenuhi syarat, itu yang bagaimana ustadz ?
Jawab: Terkait masalah dan pembahasan taklid
telah ana bahas panjang lebar dalam tulisan ana (Konsep Taklid dalam
Ajaran AB), juga dalam bab taklid yang sudah ana terjemahkan. Coba Antum
baca dan pahami baik-baik !
Penanya 6: Ok ustadz. Tetapi, apakah Antum juga menyinggung tentang bertaklid kepada Ayatullah Sayyid Husein Fadhlullah dalam tulisan Antum tsb?
Jawab: Tidak, ana tidak menyinggungnya. Di
dalam kedua tulisan tsb tidak disinggung secara khusus mengenai
marjaiyah dan ijtihadiyah beliau Ra.
Penanya 7: Jika tidak, tolong deh Antum jelaskan bagaimana yang sebenarnya bertaklid kepada beliau itu? Karena ana pernah mendengar bahwa terdapat pro kontra mengenai marjaiyah beliau. Jadi bagaimana sebenarnya ustadz ?
Jawab: Sebenarnya ana merasa sangat keberatan
untuk menyampaikan walaupun sebagian apa yang ana terima tentang
marjaiyah beliau. Baiklah, ana akan sampaikan kepada Antum alakadarnya,
sekedar memperjelas kedudukan masalah.
Begini akhi, seorang ulama atau mujtahid atau marja untuk bisa dirujuk
atau ditaklidi dan diikuti atau diamalkan fatwa-fatwanya itu, harus
betul-betul telah mencapai peringkat atau derajat ijtihad atau mujtahid
dan marja atau marjaiyah. Dan seseorang dianggap dan dinilai telah
mencapai derajat tsb (maqam ijtihad dan marjaiyah) jika ada kesaksian
dan penetapan dari ahli khibrah dan tidak ada ahli khibrah lainnya yang
mukhalif (menentang penilaian, ketetapan dan kesaksian tsb). Sebagai
contoh, misalnya Ayatullah Imam Ali Khamenei Hf, beliau betul-betul
telah mencapai derajat mujtahid dan marja dengan kesaksian dan ketetapan
sejumlah atau beberapa orang ahli khibrah dari ulama besar, diantaranya
Ayatullah Muhammad yazdi, Ayatullah Jafar al-Karimi, dll. Sementara
tidak ada seorang ahli khibrahpun yang lainnya yang menentang kesaksian
dan penetapan tsb. Bahkan beliau itu (Imam Ali Khamenei Hf) menghimpun
antara kedudukan marjaiyah dan wilayatul faqih, tidak ada seorang marja
pun yang saat ini memiliki kedudukan mulia dan tinggi seperti ini.
Dengan adanya kesaksian dan penetapan dari ahli khibrah tsb, maka beliau
(Imam Ali Khamenei Hf) layak, boleh dan sah untuk ditaklidi. Dan
mayoritas mutasyaiin Indonesia bertaklid kepada beliau.
Terkait dengan Ayatullah Sayyid Husein Fadhlullah Ra, ana sudah berusaha kesana-kemari mencari ahli khibrah yang dapat menyaksikan dan menyatakan marjaiyah beliau, tetapi hingga saat ini ana tidak atau belum mendapatkannya. Betul, yang menyaksikan ijtihadiyah beliau ada dan ana sudah dapati. Ada seorang ulama yang menyatakan bahwa beliau sudah mencapai peringkat ijtihad atau sudah menjadi mujtahid. Tetapi yang menyatakan dan menyaksikan marjaiyah beliau tidak ana dapati samasekali. Bahkan malah sebaliknya, ana dan banyak para pelajar yang menerima pernyataan dari beberapa ulama terkenal, bahwa beliau (Ayatullah Sayyid Fadhlullah) itu belum mencapai marjaiyah dan belum layak menjadi mujtahid.
Lebih dari itu, beliau sendiri (Ayatullah Sayyid
Fadhlullah) terkait masalah alamiyah seorang marja taklid, tidak
mensyarati alamiyah bagi seorang marja. Dengan kata lain -menurut
pendapat beliau- bahwa seorang marja’ itu tidak perlu alam. Tentunya
beliaupun punya dalil. Tetapi pendapat dan dalil-dalil beliau dianggap
lemah dan menyalahi atau bertentangan dengan fatwa masyhurul ulama.
Karena itu, sekiranya -terkait masalah alamiyah ini- fatwa beliau sama
dengan fatwa para ulama dan maraji lainnya, yaitu bahwa marja itu harus
alam dengan kesaksian ahli khibrah, maka tidak akan ada orang yang
bertaklid kepada beliau. Karena bukan saja tidak ada ahli khibrah yang
menyaksikan dan menyatakan alamiyah beliau, bahkan malah ada yang
menentangnya.
Mungkin Antum akan bertanya: Apa sih sebenarnya tolok ukur alamiyah
itu? Bukankah alamiyah itu bersifat nisbi atau relatif? Sebab jika
tidak, maka pasti marja itu hanya satu dong ! Nyatanya marja taklid itu
banyak, dan tidak mungkin mereka semua itu alam? Apa dalil-dalil naqli
dan aqli mengenai alamiyah ?
Untuk menjawab soal-soal semacam itu, memerlukan diskusi khusus. Dan
tidak mungkin ana menuliskannya di tempat yang terbatas ini. Tetapi
jika Antum telah terbiasa membaca kitab-kitab fikih istidlali dengan
bahsa Arab, Antum dapat membacanya dan memahaminya dengan baik insya
Allah. Tetapi hal ini memang sangat sulit.
Penanya 8: Ok lah ustadz. Sekarang kalau ada seorang atau beberapa orang bertaklid kepada Ayatullah Sayyid Husein Fadhlullah, tetapi taklid mereka itu tidak melalui kesaksian dan pernyataan ahli khibrah mengenai kemujtahidan dan kemarjaan beliau, tetapi mereka bertaklid atas dasar ikut-ikutan saja, atau memilih dengan menilainya sendiri. Dengan kata lain mereka itu bertaklid karena mengikuti atau mentaklidi orang lain yang bertaklid kepada beliau dan tidak mengenal ahli khibrahnya, atau karena menentuaknnya sendiri, bagaimana hukum taklid mereka ini ustadz?
Jawab:
Jika Antum telah membaca bab taklid dan memahaminya dengan baik dan
benar, pasti Antum sudah mengetahui jawabannya dengan jelas. Ya sudah
jelas bahwa taklid semacam ini tidak sesuai dengan tuntunan fikih Syiah
AB (berbeda dengan mazhab Sunni). Jelasnya taklid semacam ini masih
isykal atau bermasalah. Lain halnya bagi orang-orang yang sangat awam
yang tinggal jauh di belakang gunung dan tidak ada kesempatan dan
kemampuan untuk bertanya dan meneliti.
Penanya 9: Apabila memang taklid mereka semacam itu masih isykal dan
bermasalah, lalu apa dan bagaimana sikap mereka sekarang ini ustadz?
Atau apa taklif dan kewajiban mereka sehubungan dengan taklid setelah
mereka mengetahui hal ini sekarang?
Jawab: Jika telah jelas bahwa taklid mereka itu masih isykal, maka
mereka harus segera mencari dan menemukan mujtahid atau marja lainnya
yang masih hidup untuk mereka taklidi. Tentunya setelah menemukan dua
orang ahli khibrah yang menyatakan marjaiyah dan alamiyahnya. Mengenai
ahli khibrah Imam Ali Khamenei Hf sudah ana singgung tadi.
Penanya 10: Nah, bagi orang-orang yang bertaklid kepada Ayatullah Husein Fadhlullah Ra pada masa hidup beliau dan taklidnya itu sah yakni sesuai dengan syarat-syarat fikih, sementara sekarang ini beliau telah tiada atau wafat, apakah mereka dibolehkan tetap bertaklid kepada beliau dan tetap mengamalkan fatwa-fatwanya?
Jawab: Ketika asal ketaklidan seseorang kepada
beliau itu musykil, maka tetap bertaklid kepada beliau pun (baqo dalam
taklid) pastinya menjadi isykal pula. Tetapi ketika taklidnya itu
dinilai sah, maka untuk dapat tetap atau baqo bertaklid kepada beliau
-sesuai aturan fikih- ia harus merujuk mujtahid atau marja yang alam
–yang masih hidup- terlebih dahulu untuk minta fatwa dan pandangannya.
Tetapi ketika seseorang yang ingin baqo taklid kepada beliau itu telah
mengetahui kondisi ijtihadiyah dan marjaiyah beliau (telah menerima info
tentang kemarjaan beliau), maka tidak selayaknya, bahkan bisa jadi
isykal jika tetap ingin baqo taklid kepada beliau dan tetap ingin
mengamalkan fatwa-fatwanya yang bertentangan dengan fatwa-fatwa ulama
masyhur tsb.
Penanya 11: Kembali kepada hukum ikan yang tidak bersisik ustadz, apakah sama hukunya dengan memeliharanya dan menjualnya?
Jawab: Tidak, hukumnya tidak sama. Mengkonsumsi
atau memakan ikan-ikan yang tidak bersisik telah jelas keharamannya.
Sementara mengamalkan fatwa Ayatullah Husein Fadhlullah yang membolehkan
pun, setelah beliau wafat, sulit untuk dipertanggung jawabkan dan berat
untuk dipertahankan, dengan alasan diatas tadi. Adapun memelihara dan
menjual ikan-ikan yang tidak bersisik, jika tujuannya bukan untuk
dimakan manusia, tetapi untuk dimakan selain manusia, seperti untuk
makanan binatang lain, atau untuk bahan pembuatan sabun misalnya, maka
dibolehkan. Tetapi jika untuk tujuan dimakan atau dikonsumsi oleh
manusia, sekalipun orang-orang kafir, maka tetap diharamkan memelihara
dan menjualnya. Gimana ? sudah cukup jelas belum ?
Penanya 12: Ya ya, bagi saya sudah cukup jelas ustadz. Nah, jika ada seseorang yang ngotot ingin tetap bertaklid kepada Ayatullah Sayyid Husein Fadhlullah gimana ustadz? Padahal –misalnya- info dan penjelasan Antum ini sudah sampai ke telinganya. Mungkin karena ia merasa berat untuk meninggalkan makan ikan yang tidak bersisik itu?!
Jawab: Mentaati dan mengamalkan fatwa-fatwa
marja yang telah memenuhi syarat dan sebagai wakil/na’ib Imam Zaman Ajf
memang sangat berat akhi. Jangankan orang-orang awam yang belum paham,
sebagian orang yang sudah paham dan ia bukan lagi orang awam saja masih
ada yang keberatan menerima fatwa marja nya yang ia anggap mengganggu
keuntungannya. Sebagai contoh, misalnya kasus MLM, betapa beratnya
seseorang yang telah menerima keuntungan dan telah menikmati hasil MLM
untuk meninggalkan muamalah haram ini. Bahkan ada yang berani melakukan
qiyas Abu Hanifah dan mengatakan: Apa bedanya MLM dengan bay’ (jual
beli) ?! Astaghfirullah ….!!!
Terkait dengan sebagian orang yang masih bertaklid kepada Ayatullah Sayyid Husein Fadhlullah Ra, sementara informasi tentang kemarjaan beliau sudah sampai ke telinganya, ana ingin menyampaikan pendekatan atau gambaran secara awam agar mudah dapat dimengerti. Apabila ada 20 orang dokter, yang 19 orang dokter berpendapat –berdasarkan penelitian mereka- bahwa mengkonsumsi daging katak itu membahayakan kesehatan. Tetapi seorang dokter berpendapat tidak demikian. 19 orang dokter tsb telah dibuktikan kepandaian dan ketelitiannya dalam memberikan keputusan dan pendapat. Bahkan sebagian dari mereka terang-terangan mengkritisi pendapat seorang dokter tsb. Disamping pandangannya itu lemah dan mukhalif dengan pendapat mayoritas dokter, ia juga belum dianggap seorang dokter yang pandai dan berpengalaman. Menurut Antum, mana yang lebih baik; mengikuti dan mengamalkan pendapat 19 orang dokter, ataukah mengikuti pendapat seorang dokter yang dianggap lemah dan belum berpengalaman tsb? Wamaa Lakum, Kayfa Tahkumun….??? Apabila dikatakan bahwa mumarosatul ijtihad beliau itu dianggap lemah, bukan berarti semua pemikiran beliau dalam bidang-bidang lainnya juga lemah dan harus ditolak. Tidak, tidak demikian. Sikap dan pemikiran beliau dalam masalah politik dan sosial cukup dikenal. Beliau termasuk seorang ulama yang berani dan tegas dalam menghadapi kejahatan dan kezaliman Amerika dan Zionis. Bahkan beliau termasuk ulama yang senantiasa berdiri di belakang Hizbullah. Gimana, jelas ?
Penanya 13: Ana kira cukup dulu ustadz. Hatur Nuhun ya ustadz. tolong ustadz jangan lupa Antum kirimkan ke email ana artikel atau dua tulisan Antum sekitar masalah taklid tsb. ! Mohon maaf !
Jawab: Muhun, Punten ! Ok insya Allah ana akan segera kirimkan ![]
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Qum al-muqaddasah, 20 Jumadi Tsani 1435 H . 20 April 2014 M.