David C. McClelland menyebutkan bahwa menjadi modern merupakan dorongan hati manusia. Dengan mengutip penelitian para psikolog, McClelland menyebutkan bahwa ada “virus mental” di dalam diri manusia yang disebut dengan n Ach, singkatan dari need for Achievement, kebutuhan untuk meraih hasil atau prestasi. “Virus mental” ini memacu manusia untuk melakukan sesuatu dengan baik atau lebih baik, lebih efekstif dan efisien dari yang ada sebelumnya. (McClelland dalam Weiner, 1986: 2)
*David C. McClelland menyebutkan bahwa menjadi modern merupakan dorongan hati manusia. Dengan mengutip penelitian para psikolog, McClelland menyebutkan bahwa ada “virus mental” di dalam diri manusia yang disebut dengan n Ach, singkatan darineed for Achievement, kebutuhan untuk meraih hasil atau prestasi. “Virus mental” ini memacu manusia untuk melakukan sesuatu dengan baik atau lebih baik, lebih efekstif dan efisien dari yang ada sebelumnya. (McClelland dalam Weiner, 1986: 2)
Namun, J. Donald Walters (2003: 3) menyebutkan bahwa abad ini adalah abad krisis sehingga perlu penanganan yang serius. Beliau menegaskan bahwa kita sekarang ini hidup di zaman krisis. Tanda-tandanya dapat dilihat di mana-mana: pertentangan global dalam pertempuran ideologi; kebingungan spiritual; sinis terhadap konsep-konsep moral; pola hidup serba cepat dan kacau yang menyerang kesehatan jiwa kita. Kita berbicara tentang perdamaian, meskipun tahu dalam hati bahwa perdamaian bukanlah hasil dari kegelisahan, ketakutan, dan keraguan. Kita berbicara tentang kemakmuran, namun menyeret diri kita sendiri ke dalam utang yang mencemaskan. Kita meneriakkan ‘kemerdekaan’, namun menjajah kebebasan orang lain. Kita memuji-muji persamaan hak, meskipun kata itu sering kali dibuat menjadi hukuman bagi keunggulan, dan ‘kebersamaan’ menjadi slogan yang membelenggu inisiatif.
Husein Heriyanto (2003: 55-58) merangkum suatu penjelasan tentang petualangan manusia modern. Peradaban modern, menurutnya, bermula dari petualangan manusia Eropa untuk mencanangkan kedaulatan dirinya atas segenap kehidupannya di dunia. Mereka berpetualang mencari jati dirinya, hakikat eksistensi kemanusiaanya. Dengan berpangkal pada akal budinya, manusia modern mencari jati dirinya melalui gerakan-gerakan seperti Renaisans (Renaissance), Reformasi, dan Pencerahan (Enlightenment, Aufklarung).
Renaisans menyuguhkan pandangan baru tentang hakikat manusia dengan mencangkan humanisme yang menitikberatkan kesadaran individual sebagai subjek yang otonom dan pencipta dunia (faber mundi). Dalam kondisi ini manusia modern memberontak terhadap cara berpikir metafisis atau pun teologis. Mereka menganggap segenap nilai-nilai tradisi dan budaya, terutama yang berasal dari agama, sebagai belenggu kebebasan dan kreativitas mereka. Dalam konteks seperti itu, lahir Gerakan Reformasi sebagai upaya memahami agama (kristiani) secara kritis dan rasional. Calvin dan Luther menabuh genderang perang terhadap kesewenang-wenangan gereja dan pengingkaran terhadap kebebasan ekspresi manusia. Diperlukan “agama baru” yang dapat mengangkat harkat dan martabat manusia yang memiliki otonomi berpikir dan kemampuan mengelola dunia.
Setelah menyingkirkan agama, teologi, dan metafisika, dari kehidupan sosial-kemanusiaan, maka proyek subjektivitas manusia modern diarahkan langsung pada jantung keyakinan agama yakni Tuhan. Ludwig Feuerbach menyebutkan Tuhan tak lain adalah proyeksi manusia, sehingga teologi harus disingkirkan dan digantikan oleh antropologi. Karl Marx mengguncang ide ketuhanan dengan menjadikan Tuhan adalah rekaan kaum kapitalis-borjuis untuk membius kaum proletar. Tak sampai disitu, mercusuar ateisme dipancarkan dengan vokal oleh Friedrich Nietzsche dengan mendeklarasikan kematian Tuhan sebagai puncak pembebasan manusia.
Sejalan dengan perkembangan kesadaran modernitas di atas, sekularisasi menjadi kesadaran umum manusia modern. Kesadaran sekular ini dimanifestasikan dalam pemisahan sains dari nilai-nilai kemanusiaan. Kaum positivistik mengklaim bahwa sains itu netral dan bebas nilai. Dengan semboyan Sapere aude (berani berpikir sendiri), manusia berkehendak otonom dan bebas dari segala otoritas dan tradisi. Huston Smith memandang bahwa sekularisme telah memisahkan jasad dan ruh, materi dan immateri. Sekularisme juga telah memisahkan rasio dan iman, sains dan moral.
Bagaimana proses sekularisasi ini berjalan?. Huston Smith menyebutkan proses sekularisasi ini dilakukan oleh sains dan teknologi dengan agennya adalah universitas tempat para ilmuwan bekerja. Dengan mendewakan pengetahuan instrumental dan menjadikannya sebagai pusat, universitas yang marak di mana-mana mengubah panggilan menjadi profesi. Dalam proses itu, tidak hanya fokus pada tujuan dan makna hidup lalu hilang, tetapi juga fokus manusia sebagai manusia karena sudah mereduksi manusia menjadi sekedar instrumen bagi kemajuan pengetahuan duniawi tersebut.” (Smith, 2003: 126-127)
Gambaran di atas menunjukkan bahwa pendidikan dan para ilmuwan adalah agen kunci dalam pembentukan abad modern. Positivisme yang menjadi pegangan para ilmuwan dilembagakan dalam pusat-pusat pendidikan modern. Saintisme menjadi idola dalam menyelesaikan masalah. Ateisme menjadi ‘agama’ baru kaum ilmuwan. Yang semuanya terbungkus dalam suatu ideologi yang dikenal dengan sekularisme. Implikasi utamanya, manusia menjadi terasing dengan dirinya sendiri.
Dengan demikian, peradaban materialistik modern telah menjadikan manusia seperti mesin organik yang bekerja secara mekanis. Ruh tidak lagi mendapat perhatian dan kemuliaan, bahkan keberadaanya pun telah ditolak dengan alasan ilmiah, karena ruh tak bisa di indera (emperisme) dan tak ditemukan dengan pisau bedah di laboratorium ilmiah (positivisme). Kondisi materialistik yang meliputi nyaris seluruh dimensi kehidupan manusia ini, mebawa krisis identitas yang akut, dimana manusia menjadi terasing dari dirinya sendiri. Sebab, mereka menganggap manusia dan seluruh aktivitasnya mulai dari agama, moral, hingga politik bagaikan mesin yang dikendalikan semata-mata oleh persoalan perut (ekonomi) dan “bawah perut” (nafsu; seksualitas).
Descartes dengan asumsi coggito ergo sum-nya menyumbang ide yang mengarahkan manusia pada dualisme, perbedaan secara independensi antara rasio (think, mind) dengan tubuh (body); substansi rasio adalah res cogitans (pemikiran), sedang substansi tubuh adalah res extensa(berkeluasan).Dengan begitu, Descartes menganggap manusia sebagai sosok mesin. Dia mengungkapkan, “saya tidak melihat perbedaan antara mesin-mesin buatan manusia dengan pelbagai tubuh yang disusun oleh alam. Saya menganggap tubuh manusia sebagai sebuah mesin.” Pandangan dualisme Descartes ini membuat Gilbert Ryle mengatakan bahwa bagi Descartes manusia itu adalah seperti “suatu hantu dalam sebuah mesin”. (Heriyanto, 2003: 35).
Lebih jauh, Descartes juga mencanangkan suatu paradigma yang berdasar pada asumsi “subjektivisme-antroposentrik” yang merepresentasikan modus khas kesadaran modernisme bahwa manusia merupakan pusat dunia. Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) merupakan bentuk kesadaran subjek yang terarah kepada dirinya sendiri, dan hal itu merupakan basis ontologis terhadap eksistensi realitas eksternal di luar diri sang subjek. (Heriyanto, 2003: 44)
Fritjop Chapra menegaskan bahwa, memang secara positif paradigma ini berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan kehidupan manusia. Namun, di lain sisi mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri. Pandangannya yang mekanistik terhadap alam telah melahirkan kemerosotan kualitas lingkungan seperti pencemaran udara, air, dan tanah serta masalah kesehatan yang mengancam balik kehidupan manusia. Paradigma ini juga cenderung memperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar yang diatur menurut hukum-hukum objektif, mekanis, deterministik, linier, dan materialistik. Pandangan dunia inilah yang melahirkan berbagai krisis global yang disebut oleh Chapra sebagai “penyakit-penyakit peradaban”. (Chapra, 2007: 7)
Selaras dengan Chapra, Syed Hossein Nasr mengatakan bahwa pelbagai bentuk, konflik, kekerasan, diskriminasi, dehumanisasi, alienasi, dan reifikasi yang terjadi pada tatanan sosial dunia kontemporer merupakan cerminan dari—setidaknya terkait dengan—konflik, kekerasan, alienasi, dan reifikasi yang bergejolak, bergemuruh, dan bersarang dalam jiwa-jiwa manusia modern pada umumnya. (Heriyanto, 2003: 143)
Lantas bagaimana mengobati “penyakit-penyakit peradaban” tersebut? Jawaban sederhananya adalah menyadarkan manusia untuk mengenal kembali hakikat dimensi dirinya yang membedakannya dengan binatang. Dengan mengenalkan dimensi kemanusiaan, barulah kita dapat membuat suatu rumusan untuk mengembangkan potensi manusia secara utuh.
(liputanisla/ABNS)