Beberapa kali kita pernah mendengar kasus seorang atlet yang meninggal mendadak setelah melakukan latihan olahraga. Padahal, anggapan umum terhadap atlet adalah orang yang sehat. Lantas kenapa mereka bisa meninggal secara mendadak?
Salah satu penyebab kematian mendadak pada atlet adalah berhentinya kerja jantung secara tiba-tiba. Kejadian tersebut dipicu oleh olahraga dengan intensitas tinggi yang dilakukan dalam waktu lama.
Dokter konsultan jantung dan elektrofisiologis Jeremy Chow menjelaskan, ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan seseorang bisa mengalami kematian jantung mendadak atau sudden cardiac death(SCD). Berikut di antaranya.
1. Kelainan jantung kongenital
Kelainan jantung kongenital merupakan kondisi cacat pada jantungatau dikenal juga dengan kelainan bawaan. Kondisi ini sudah ada sejak seorang individu dilahirkan. Umumnya seseorang yang mengalami kelainan jantung kongenital tidak dapat hidup lama, kecuali mendapat tindakan operatif pada jantungnya.
2. Kelainan otot jantung
Kondisi ini bisa berupa hipertropi (pembesaran) otot jantung yang berakibat dari gagalnya jantung untuk berfungsi secara normal. Chow mengatakan, 80 persen SCD disebabkan oleh kondisi ini.
“Ini merupakan faktor genetik sehingga tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegahnya,” ujar dokter dari Asian Heart & Vascular Centre, Gleneagles Medical Centre, Singapura, dalam sebuah wawancara Selasa (29/4/2014) di Jakarta.
3. Aritmia
Aritmia dikenal juga sebagai gangguan irama jantung. Kondisi ini disebabkan oleh permasalahan kelistrikan jantung. Saat terjadinya aritmia, detak jantung bisa terjadi sangat lambat bahkan berhenti. Inilah yang menyebabkan kematian.
4. Abnormalitas arteri jantung
Gangguan ini berupa adanya penyumbatan pada arteri ke jantung sehingga mengakibatkan fungsi jantung yang terganggu. Abnormalitas arteri juga bisa berarti kelainan pada letak maupun cabang dari arteri.
5. Infeksi atau inflamasi
Virus atau bakteri bisa menginfeksi organ-organ dalam tubuh manusia, termasuk jantung. Infeksi menyebabkan inflamasi atau peradangan dijantung yang memicunya tidak berfungsi dengan baik.
“Dengan memiliki salah satu faktor di atas, seseorang memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami SCD. Bahkan, di usia muda, di bawah 40 tahun, mereka bisa mengalaminya, terutama saat melakukan olahraga dengan intensitas tinggi dalam waktu panjang,” ujar Chow.
Tak bergejala
Chow menegaskan, SCD berbeda dengan serangan jantung meskipun sama-sama menyebabkan jantung gagal berfungsi dan berujung pada kematian. SCD, kata dia, umumnya tidak bergejala, tidak seperti serangan jantung.
“Biasanya, saat mengalami serangan jantung, ada rasa nyeri di dada yang menjalar dan orang bisa bertahan beberapa waktu. Namun, pada SCD, kematian bisa langsung terjadi saat itu juga dan sayangnya tidak ada gejala,” ujarnya.
Serangan jantung kebanyakan disebabkan oleh penyakit jantung yang berlangsung kronik dalam waktu lama. Misalnya, penumpukan plak di pembuluh darah yang mempersempit pembuluh darah bisa menyebabkan serangan jantung jika sudah tersumbat. Ini berbeda dengan SCD, yang kebanyakan faktor pemicunya merupakan bawaan atau faktor genetik.
(Kompas/Mahdi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)