Kecintaan yang besar terhadap bisnis kuliner membuat Martin Setiantoko bercita-cita untuk memiliki restoran sendiri. Namun, layaknya kisah pengusaha yang merintis bisnis di awal, dirinya tidak memiliki modal yang cukup untuk mewujudkan mimpinya tersebut.
Setelah menamatkan pendidikan di sekolah kuliner Malang, Jawa Timur, saat berusia 24 tahun, Setiantoko memutuskan mengadu nasib ke Amerika untuk mewujudkan mimpinya memiliki restoran sendiri. Di Amerika, Setiantoko tinggal di New York dengan uang saku yang hanya tersisa Rp 1 juta.
Di kota Big Apple tersebut, untuk bertahan hidup dan mewujudkan mimpinya, Setiantoko bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran. Pekerjaan tersebut dijalaninya selama lima tahun.
Setelah dirasa uang tabungannya sudah cukup, Setiantoko bertekad membuka restoran sendiri di Virginia. Namun, selama enam bulan pertama, restorannya tidak mendapatkan keuntungan.
"Selama enam bulan pertama usahanya bangkrut. Dan badannya sakit karena terlalu diforsir untuk bekerja," seperti dikutip share.america.com, Selasa (17/3).
Setiantoko mulai merasakan keuntungan ketika restorannya sudah berjalan tiga tahun. Dengan keuntungan tersebut, dia mulai mengembangkan bisnis kulinernya.
"Dengan keuntungan tersebut, dia mengembangkan usahanya. Bukannya membuka restoran baru, dia justru membeli dua buah truk dan mengubahnya menjadi food truck dan berjualan di Washington. Keputusannya membuahkan hasil. Kebanyakan pendapatannya berasal dari truknya."
Berbeda dengan food truck yang biasa beredar dengan menjual makanan khas Amerika, seperti burger dan hot dog, Setiantoko justru menawarkan kuliner khas Indonesia seperti sate, kari ayam, mia ayam, hingga rendang. Food truck-nya sendiri diberi nama Sate Truck.
Semua menu kuliner Indonesia seperti ate, kari ayam, mia ayam dibanderol USD 9 atau Rp 118.687 (jika USD 1 = Rp 13.187). Sedangkan rendang lebih mahal USD 1, yakni USD 10 atau Rp 131.875.
Kini usaha kuliner Setiantoko telah berkembang. Saat ini dia memiliki satu restoran dan dua food truck yang berada di lokasi berbeda.
"Memiliki bisnis kuliner memang membuat stres tapi itu sebanding ketika dapat melihat orang berbaris untuk menunggu makanan saya," ujar Setiantoko.
(Source)