27 August 2014 | 11:46
Saya seorang suku Tionghoa di Indonesia, karena saya
menguasai bahasa Tionghoa dengan lancar, saya sering juga ke Tiongkok,
saya bisa cerita sedikit mengapa turis Tiongkok tidak senang ke
Indonesia (kecuali Bali). Turis Tiongkok terkenal royal dalam
membelanja, di Amerika, setiap turis dari Tiongkok rata-rata
menghabiskan dana US$ 6,000.- Tentu di Amerika, mereka banyak shopping
barang mewah (yang harganya bisa separuh daripada Tiongkok). Untuk
menarik Turis royal, Amerika memberi prioritas kepada turis Tiongkok dan
Brasil, permohonan VISA mereka dipermudah. Apa yang terjadi di
Indonesia.
1. Setibanya di airport Indonesia, kesan pertama
adalah ketika di meja VOA dan meja imigrasi, sering diminta duit,
apalagi jika formulis yang diisi tidak jelas (misalnya tidak menulis
nama hotel yang akan diinap). Untuk turis perorangan yang datang ke
Indonesia, mungkin mereka ada famili di Indonesia, sehingga belum tentu
tinggal di Hotel, maka mereka tidak isi nama hotel yang akan mereka
inap. kalau kolom ini tidak diisi, ya akan dipersulit. Perbuatan tidak
terpuji dari imigrasi ini sudah tersebar dikalangan turis di Tiongkok,
maka mereka tidak enak hatinya. Apalagi ada sejarah peristiwa Mei 1998,
tentu dalam benak hati mereka was was. Juga kawatir teroris misalnya
pemboman di Bali dan Borobudur.
Saran penyelesaian :
para turis yang akan ke Indonesia, khusus Garuda
kabarnya bisa membayar Visa On Arrival (VOA) di counter Garuda di
airport Shanghai, dan stempel imigrasi didalam pesawat, sehingga Garuda
telah melepaskan turis Tiongkok dari gangguan imigrasi. Ini ide sangat baik.
Tapi bila mereka datang dengan pesawat lain? tidak semua turis asing ke Indonesia memakai Garuda?
Saya sarankan diberi bebas visa kepada turis Tiongkok (tentu harus timbal balik),
sehingga turis Tiongkok tidak perlu antri di counter VOA yang mungkin
bisa dipersulit oknum. Di counter stempel imigrasi, dibuat suatu sistim
tombol, bila turis Tiongkok ada kesulitan, bisa pencet tombol, maka ada
petugas dari Indonesia, misalnya dari anggota PHRI, dan ada seorang
petugas KPK yang siap membackingnya. Karena bila diberikan bebas visa,
mereka bisa diberikan AUTOGATE CARD, sehingga sama sekali tidak perlu berhadapan dengan orang imigrasi.
2. Bea Cukai. Terkadang orang bea cukai cukup
menjengkelkan, khususnya terhadap business traveler. Sebagai business
traveller, terkadang mereka bawa brosure dan sample. Kalau barang
sample kecil, tidak masalah, kalao barang besar, ini sering jadi
masalah. Padahal barang contoh tersebut akan dibawa pulang mereka.
Pernah terjadi 20 tahun yang lalu, turis bule pun
diajar oleh travel guide, menaruh uang di dalam paspor untuk melancarkan
di bea cukai. Ketika ada operasi, mereka bilang, dianjurkan oleh
travel guide. Sungguh memalukan.
Cara penyelesaikan :
minta uang jaminan saja, misalnya uang jaminan 100
US$ untuk barang seberat 10 Kg (atau 1 Kg 10 US$), sehingga tidak
mengganggu. Tentu, mungkin terhadap barang A, 1 Kg 10 US$ uang jaminan
kemurahan, tapi mungkin untuk barang B, 1 Kg 10 US$ kemahalan, kita
ambil rata-ratanya saja. Tujuan, jangan mempersulit orang. Ketika
orang balik, asal menunjukan barang dibawa pulang, uang kembali.
3. Taksi Bandara.
Bagi turis yang dijemput travel atau relasi di
Indonesia, tidak bermasalah, tapi bagi turis tanpa jemputan, kualitas
Pelayanan taksi di airport kurang bermutu dalam pelayanan. Walaupunn
sudah ada kemajuan, tapi terkadang masih ada yang kurang ajar.
Cara penyelesaian:
DAMRI membuat bus mewah khusus dengan tarip khusus,
khusus mengantar turis (termasuk turis Tiongkok) ke hotel-hotel bintang 3
keatas.
Di Thailand, setiap tahun ada 4 juta turis Tiongkok,
sedangkan di Indonesia hanya 750,000 turis Tiongkok per tahun. Di
Thailand, tidak ada masalah imigrasi yang menyebalkan, tidak ada bea
cukai yang menyebalkan dan taksi Bandara Thailand kalo tidak salah beli
tiket di counter.
Saya mengharapkan Indonesia dapat kebagian sedikitnya 2 juta
turis, Indonesia memiliki tujuan wisata yang banyak, misalkan Borobudur,
Bali, lautan India yang menakjubkan, pulau Samosir/Toba, sayang
departemen pariwasata kurang pandai menggarap pasaran Tiongkok, mungkin
salah satu penyebabnya adalah kurang pandai promosi Indonesia dalam
bahasa Tionghoa.
Sumber: kompasiana.com